QUO VADIS GERAKAN MAHASISWA INDONESIA



Mahasiswa adalah kelas sosial di masyarakat yang mempunyai konotasi religius, moralis, intelektual, dan humanis. Kelas ini unik karena menghubungkan dimensi ketuhanan, yaitu MAHA, yang inheren dengan makna Yang Mutlak, Kebenaran Absolut; dan kemakhlukan, yaitu SISWA, sosok manusia pembelajar, sebuah perilaku dinamis untuk menyempurna yang senantiasa dinamis, bergerak.

Mahasiswa menatap realitas sosial dengan sikap: Kritis, karena realitas sosial bisa jadi adalah hasil konstruksi kekuasaan; rasional, karena realitas sosial harus disikapi dengan nalar rasional, bukan reaktif-emosional; independen, karena menyikapi segala realitas sosial harus tanpa beban beban sejarah, patronase dan primordialisme. sehingga mahasiswa haruslah menjadi corong rakyat terhadap segala bentuk kebijakan dan praktik kekuasaan Negara, penyambung lidah rakyat dan kaum tertindas

Gerakan mahasiswa di Indonesia merupakan fenomena historis yang hampir tidak terlupakan oleh masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan, gerakan mahasiswa setidaknya telah meruntuhkan dua rezim pasca kolonial di Indonesia yaitu rezim Sokarno dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya dan Rezim Soehato dengan Orde barunya. Dalam geliat gerakan mahasiswa tak sedikit sejumlah mahasiswa yang gugur dan syahid di jalan Tuhan dalam upaya menegakan keadilan, kemanusiaan dan kebenaran. Karena itu sudah semestinya penguasa yang saat ini menduduki tampuk kekuasaan merealisasikan cita-cita,aspirasi, dan moralitas dari pengorbanan mereka agar kesalahan tidak berulang. Sebagai gerakan moral yang berinplikasi politik, gerakan mahasiswa telah menjadi “mitos” tersendiri di bumi pertiwi.

Namun seiring dengan langkah jaman gerakan mahasiswa kini berada di persimpangan jalan yang membingunkan. dimana tarikan antara perjuangan moral bertarung dengan rayuan elit politik untuk memperjuangkan kepentingan pribadi atau golongan yang saat ini tidak pernah merasakan penderitaan rakyat. Belakangan demonstrasi dan aksi unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa di sejumlah daerah di Indonesia kian tidak cerdas dan tidak bermutu. Mereka hanya menjadi pahlwan palsu, yang mengira bahwa dirinya sedang menjadi pembela rakyat.

Sejak dibentangkannya babak baru demokrasi, bukan cerita baru jika demonstrasi menjadi pemandangan jamak sehari-hari di negeri ini. Berbagai lapisan masyarakat mulai dari mahasiswa, buruh, petani, dan bahkan para guru kerap menjadikan aksi demonstrasi sebagai pilihan untuk menyuarakan aspirasi yang hendak disampaikan.

Terutama bagi kalangan mahasiswa, atau lebih tepatnya gerakan mahasiswa, demonstrasi layaknya menjadi agenda penting yang “wajib” dilakukan. Meskipun kadang tak jelas benar apa yang hendak disampaikan, atau masalah apa dan siapa yang harus didemonstrasi, terpenting bagi mereka adalah turun ke jalanan, berorasi, dan bertingkah bak “hero” bagi masyarakat yang tertindas, miskin dan termarjinalisasi.

Benarkah mereka menjadi pahlawan? Rasanya perlu ditimbang ulang. Sebab setiap kali demonstrasi digelar, naskah orasi dibacakan, spanduk dan poster dibentangkan, dan ban bekas dibakar, kesemuanya hanya menjadi aktivitas yang mengganggu kepentingan umum, meresahkan warga, dan bahkan menebar teror sebab masyrakat dibuat takut, jangan-jangan berakhir bentrokan atau kerusuhan.

Romantisme 98

Alih-alih menyampaikan aspirasi dan meneriakkan kebenaran, demonstrasi yang digalang kawan-kawan mahasiswa belakangan justru tidak menggunakan cara-cara yang benar. Bahkan cenderung anarkis dan tidak cerdas.

Lihat saja misalnya, demonstrasi yang bertujuan menentang kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), beberapa waktu lalu, justru disampaikan dengan cara memblokade jalan umum, berorasi sepuas hati, membakar ban-ban bekas, bahkan bertindak anarkis terhadap pengguna jalan dan aparat kepolisian. Sungguh bukan sebuah tindakan yang bisa dibilang cerdas untuk ukuran sosok seorang intelektual kampus.Meskipun jika dipikir-pikir, apa hubungannya antara masyarakat pengguna jalan dengan kenaikan harga BBM? Rasanya saya menemukan sebuah kesimpulan sumir yang sungguh ironis, bahwa para aktivis gerakan mahasiswa sedang terjebak pada romantisme tahun 1998.

Aksi massa yang digawangi gerakan-gerakan mahasiswa tahun 1998 untuk menuntut reformasi dengan agenda penting menurunkan presiden Soeharto, masih terus dibahas di setiap diskusi atau seminar. Selalu dirapalkan seraya berpikir bahwa demonstrasi adalah satu-satunya jalan untuk menyuarakan aspirasi, dan 1998 adalah contoh paling ideal. Maka jadilah demonstrasi menjadi sebuah ritual wajib. Setiap gerakan mahasiswa wajib turun ke jalan, berorasi, mengepalkan tangan kepada penguasa, merasakan ekstase jalanan yang belakangan terlihat makin “memuakkan”. Tapi, seperti layaknya ritual, jika dilakukan tanpa pemaknaan dan penghayatan yang benar, ia hanya akan menjadi tindakan konyol yang sampah.

Yang patut dikenang dari gerakan mahasiswa 1998 turun ke jalan bukanlah semata ekstase orasi jalanan, tetapi semangat bersama untuk berdiri dalam satu “barisan” untuk menyuarakan kebenaran. Tetapi, “barisan” yang terpenting bukanlah barisan massa dalam demonstrasi jalanan, melainkan barisan kesadaran, barisan kesepahaman, barisan kekuatan untuk bersama menentang kedzoliman dan menyuarakan kebenaran.

Retrospeksi

Kiranya para mahasiswa harus memaknai ulang keber-ada-annya sebagai mahasiswa. Jika benar menjadi agent of change yang siap menjadi pahlawan perubahan menuju situasi kebangsaan yang lebih baik, apakah demonstrasi merupakan satu-satunya jalan? Apakah ia tepat untuk menyelesaikan semua persoalan?

Sebab alih-alih menjadi bagian dari penyelesaian masalah, demonstrasi yang tidak cerdas sekali lagi tidak cerdas justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Saya bukan sedang bersikap antipati terhadap berbagai aksi demonstrasi yang dilakukan kawan-kawan mahasiswa, tetapi saya pikir mahasiswa telah gelap mata jika menganggap demonstrasilah satu-satunya jalan untuk menyampaikan aspirasi. Masih ada cara lain, yang mungkin lebih efektif untuk ditempuh. Bukankah bangsa ini semakin kesulitan untuk menemukan mahasiswa yang cerdas menulis di media massa? Bukankah mahasiswa yang kritis melalui kerja berkesenian semakin sulit ditemukan? Bukankah cara-cara itu bisa ditempuh?

Sebagai sebuah pilihan, demonstrasi dan aksi jalanan memang lebih mudah dilakukan. Heroismenya lebih terasa. Tetapi, mungkin kita harus berkaca pada Soe Hok Gie atau Ahmad Wahib, yang sudah membuktikan pada kita bahwa kritik dan aspirasi tak selamanya harus dilantangkan di jalanan melalui teriakan-teriakan serak yang memalukan.

0 comments:

resep donat empuk ala dunkin donut resep kue cubit coklat enak dan sederhana resep donat kentang empuk lembut dan enak resep es krim goreng coklat kriuk mudah dan sederhana resep es krim coklat lembut resep bolu karamel panggang sarang semut